Bayi Sering Mengisap Jari, Wajarkah?

WAJAR kok, bayi mengisap jari karena hal itu memang kebutuhannya. Justru menunjukkan si bayi sehat dan normal.

Setiap bayi pasti akan mengisap jari. Terlebih pada bayi baru lahir hingga usia 3 bulan,mengisap jari acap kali dilakukan. Hal ini menunjukkan si bayi dalam keadaan sehat dan normal, karena refleks isap memang sudah seharusnya dimiliki bayi sejak lahir. Itulah mengapa, bila bayi mau menyusu, puting susu ibu tak perlu dipaksa dimasukkan ke mulut bayi. Cukup pipinya digeser-geser dengan puting, maka bayi akan mencari arah puting.

Namun tak berarti semua bayi memiliki refleks isap yang baik, lo. Seperti dikatakan Prof. Dr. dr. Nartono Kadri, Sp.A(K), ada beberapa bayi yang reflek isapnya rendah, yaitu bayi yang lahir prematur dan bayi sakit.

"Pada bayi prematur, refleks mengisap jarinya lebih pelan ketimbang bayi sehat, karena pertumbuhannya yang belum terlalu sempurna." Sedangkan bayi sakit, misalnya, mengalami gangguan pernafasan berat. "Ini berarti bayi dalam kondisi lemah, sehingga refleks isapnya tak baik. Bayi yang demikian memerlukan selang karena ia tak bisa mengisap," lanjut guru besar FKUI ini.

KEBUTUHAN MENGISAP

Secara psikologis, menurut Dra. Betty DK. Zakianto. Msi, bayi mengisap jari karena lapar. Disamping bayi memang memiliki kebutuhan mengisap, dari lahir sampai usia 3 bulan. "Kebutuhan mengisap didapat bayi ketika menyusui namun kebutuhan ini bersifat individual. Artinya, masing-masing bayi memiliki kebutuhan mengisap yang berbeda-beda," terang psikolog pendidikan ini. Itulah mengapa, lamanya menyusui tak akan sama pada setiap bayi. Misalnya, ada bayi yang sudah puas mengisap selama 20 menit menyusui, namun ada yang baru merasa puas setelah 40 menit.

Selain itu, jarak waktu menyusui juga bisa berpengaruh. Bayi yang setiap 3 jam sekali diberi minum, misalnya, kebutuhan mengisapnya akan lebih sedikit ketimbang bayi yang diberi minum 4 jam sekali. "Jadi makin sering bayi diberi kesempatan menyusu maka semakin sering pula bayi dapat memenuhi kebutuhan mengisapnya," lanjutnya.

Beberapa pakar pun mengatakan, bayi yang menyusu ASI akan lebih jarang mengisap jari ketimbang yang menyusu dari botol. "Kalau ada bayi yang menyusu ASI namun tetap mengisap jari, bisa jadi karena waktu menyusu yang kurang. Misalnya, kebutuhan menyusunya 40 menit, tapi ia hanya diberi 20 menit, sehingga ia belum puas mengisap." Waktu menyusu yang ideal, terang Betty, sekitar 30 sampai 40 menit. "Di atas 20 menit sebenarnya susu ibu sudah kosong, namun bayi tetap mengisap puting ibunya demi memenuhi kebutuhan mengisapnya."

SARUNG TANGAN ATAU EMPENG

Yang jadi masalah, orang tua suka risih melihat bayi mengisap jari. Takutnya, mengisap jari akan menjadi suatu kebiasaan sampai selepas masa bayi. Kalau sudah begitu, tentu akan sulit sekali untuk menghilangkannya. Lagi pula, jika kebiasaan ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan menghambat perkembangan gusi dan gigi.

Itulah mengapa, tak jarang orang tua memberikan alternatif solusi dengan memakaikan sarung tangan. Padahal, menurut Nartono, cara ini tak menyelesaikan masalah, malah dapat mengundang bahaya. "Bisa saja, kan, si bayi malah memasukkan sarung tangan itu ke mulut? Nah, jika sarung tangan itu diisap-isap terus, tentunya jadi basah. Dalam kondisi basah, kuman dan kotoran akan lebih mudah melekat. Jadi, sarung tangan malah berdampak buruk untuk bayi," terangnya.

Selain sarung tangan, kadang orang tua juga suka memberikan empeng/dot. Awalnya, sih, karena bayinya masih rewel padahal sudah diberi ASI. Mereka khawatir bila minumnya ditambah, si bayi malah jadi muntah karena overfeeding atau overload (terlalu banyak menyusu). Nah, agar si bayi tak rewel dan muntah, diberilah empeng/dot.

Berbeda dengan jari, menurut Nartono, empeng/dot tak begitu berpengaruh terhadap perkembangan gusi dan gigi, karena empeng tak sekeras jari. Selain itu, empeng/dot adalah benda di luar tubuh bayi, sehingga cara melepaskan kebiasaan mengempeng relatif lebih mudah dibandingkan bila jari yang diisap.

Tapi dengan mengempeng, berarti banyak udara yang masuk ke perut bayi sehingga bayi akan mudah kembung. Selain itu, dari segi higenis, empeng/dot bisa saja jatuh dan yang menjaga bayi malas mencucinya kembali. "Biasanya, bila empeng jatuh cukup dilap sebentar di baju si pengasuh, langsung dimasukan kembali ke mulut bayi. Nah, ini, kan, bisa jadi masalah tersendiri buat bayi."

Dengan kata lain, baik sarung tangan maupun empeng/dot, justru akan menimbulkan masalah baru bila digunakan sebagai pengganti jari. Jadi, bagaimana, dong, sebaiknya?

BERHENTI SENDIRI

Menurut Betty, orang tua sebenarnya tak perlu terlalu cemas, karena kebiasaan mengisap jari akan berhenti dengan sendirinya. Namun dengan catatan, asalkan si bayi tumbuh dalam lingkungan yang menyenangkan. "Jadi bayi tak perlu dipaksa untuk berhenti mengisap jari, apalagi sampai jarinya ditarik dari mulutnya. Justru kalau dipaksakan, ia akan lebih frustrasi dan malah akan lebih giat mengisap jari demi mengatasi rasa frustrasinya." Lebih baik, saran Betty, biarkan dulu. "Orang tua perlu memberi toleransi agar bayi dapat memenuhi kebutuhan mengisapnya." Toh, nantinya kebiasaan itu akan berhenti sendiri.

Lagi pula, seperti telah dijelaskan di atas, mengisap jari merupakan pertanda si bayi sehat dan normal. Juga, merupakan salah satu kebutuhan bayi dari lahir sampai usia 3 bulan. Jadi, wajar saja. Bahkan, kata Betty, sampai usia 7 bulan pun, kebiasaan mengisap jari pada bayi masih dianggap wajar.

Lain halnya bila setelah usia 7 bulan bayi masih saja meneruskan kebiasaannya mengisap jari. "Orang tua sebaiknya mencari tahu penyebabnya," saran Betty. Mungkin bayi termasuk tipe yang memerlukan waktu lebih lama untuk menyusu. Jadi, cobalah perpanjang waktu menyusuinya. Toh, dia tak akan kekenyangan. Bukankah payudara sebenarnya sudah kosong?

Tapi bila cara tersebut tak juga menyelesaikan masalah, bahkan frekuensi mengisapnya malah jadi semakin sering, maka orang tua kembali harus mencari penyebabnya. "Bisa jadi bayi mencari pengganti sesuatu, lalu dia mendapatkan jempolnya sebagai benda penghiburnya. Bukankah jari merupakan benda yang paling dekat dengannya?"

Jika bayi memperoleh rasa nyaman dari jempolnya, lanjut Betty, bisa jadi dia mengalami rasa jemu, frustrasi, atau malah kecapekan. "Kasusnya hampir sama dengan bayi-bayi yang mencari rasa aman dari benda-benda di sekelilingnya, seperti selimut, bantal atau boneka."

Walau begitu, ingat Betty, tetap saja orang tua tak boleh memaksakan bayi untuk langsung menghentikan kebiasaannya. "Cobalah dengan mengalihkan perhatiannya pada kegiatan lain yang menarik dia. Misalnya, ciptakan permainan dengan tangan atau jari, seperti bermain tepuk tangan. Tentunya, permainan ini harus berkesan baginya." Bisa juga dengan memberikan mainan kesenangannya atau ganti dengan mainan yang khusus untuk digigit. Namun jangan lupa, pastikan mainan tersebut aman dan bersih.

Bila semua cara tersebut ternyata tetap tak membuahkan hasil, menurut Betty, orang tua sebenarnya juga tak perlu terlalu cemas selama tumbuh kembangnya normal. Jadi, meski bayi memiliki kebiasaan mengisap jari namun dia masih suka bermain dan ceria, ya, tak apa-apa. Tapi kalau dia mulai melamun dan sepanjang hari kegiatannya cuma mengisap jari, barulah orang tua boleh khawatir. Konsultasi dengan ahlinya merupakan alternatif yang terbaik bila orang tua tak jua bisa menemukan penyebabnya maupun mengatasinya.

http://www.kompas.com

Berapa Lama Seharusnya Bayi Tidur?

KOMPAS.com — Bagi para orangtua muda yang baru saja memiliki bayi, akan ada saja hal-hal baru yang harus dipelajari tentang si bayi. Tak terkecuali masalah tidur si bayi. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa bayi yang baru lahir akan memerlukan tidur yang cukup dan lama. Namun, seberapa lama tidur bayi hingga bisa dibilang cukup? Berikut panduan perkiraan umum lamanya waktu tidur yang cukup untuk bayi dari usia 1 minggu hingga 1 tahun.


Usia 1-4 minggu

Bayi baru lahir umumnya akan tertidur sekitar 15-18 jam per hari. Namun, tidurnya terputus-putus. Setiap usai tertidur 2 jam, ia akan terbangun, dan begitu seterusnya. Sementara bayi yang terlahir prematur umumnya akan tidur lebih lama, bayi yang memiliki masalah kolik tidurnya lebih cepat.

Pada usia ini, si bayi belum memiliki pola apa pun. Bahkan mereka belum memiliki jam internal tubuh biologis atau biasa dikenal dengan ritme sirkadia sehingga mereka belum memiliki sensitivitas terhadap cahaya dan gelapnya malam selayaknya manusia dewasa. Ini adalah hal yang normal. Anda harus bisa beradaptasi dengan jam biologis si kecil. Di usia ini, saat tertidur, anak sering kali menimbulkan gerakan-gerakan seperti terkejut, dan saat akan tertidur atau terbangun, matanya akan bergerak-gerak. Ini adalah hal yang normal.

Usia 5-8 minggu

Ketika memasuki usia 6 bulan, si bayi sudah bisa berekspresi dengan tersenyum, dan ia sudah mulai merasa nyaman dengan keadaan sekitarnya. Pada usia ini, Anda mungkin akan mulai melihat adanya pola tidur. Periode tidur terlamanya akan berlangsung antara 4 dan 6 jam serta cenderung mulai teratur pada sore menjelang malam. Sekitar 2 jam, si bayi akan mampu bertahan untuk tetap terjaga, bahagia, dan tidak mengantuk. Ia akan membutuhkan tidur siang dengan rentang waktu tersebut. Usahakan tidak membuat si kecil merasa kelelahan karena ia bisa jadi rewel dan tidak nyaman. Ketika si bayi kekurangan waktu tidur siang, tubuhnya akan memproduksi hormon yang melawan kelelahan dan bisa menyebabkannya sulit tidur di malam hari. Jadi, penting untuk sensitif terhadap kebutuhan si kecil.

Pelajari gerak-gerik tanda si kecil sudah kelelahan. Misal, ia menggaruk mata, menarik telinga, bahkan adanya warna kehitaman di bawah mata. Buat agar si kecil merasa nyaman dan hangat, lalu bawa ia ke tempat tidurnya. Pada fase ini, ia sedang membangun sensitivitas terhadap lingkungannya, mulai mengenali tanda-tanda cahaya, suara, dan getaran di sekitarnya. Jadi, ketika ia tertidur, ia seharusnya berada dalam lingkungan yang tenang, tak banyak aktivitas gerakan, dan dalam ruangan yang temaram atau gelap. Semua hal ini akan membantu si kecil membangun tidur yang lebih teratur.

Usia 3-4 bulan

Saat ini, bayi Anda sudah mulai membangun kebiasaan waktu tidur selama 2/3 pada malam hari, dan 1/3-nya lagi pada siang hari. Ini merupakan tahap awal untuk membangun siklus tidur yang rutin di malam hari. Pada tahap ini, Anda bisa mencoba untuk mulai membangun rutinitas dan konsistensi jam tidur agar ia bisa membangun kebiasaan tidur yang sehat. Ia harus belajar untuk bisa tidur tanpa harus dibantu dan ditemani. Di tahap ini, ia sudah membangun ketertarikan terhadap dunia di sekitarnya. Maka dari itu, penting untuk menempatkannya di ruangan yang tenang, gelap, dan bisa membantunya tidur lebih tenang.

Usia 4-8 bulan

Idealnya, waktu tidur anak di usia ini adalah sekitar 15 jam per hari. Namun, tak jarang juga anak tidur hanya 12 jam. Membangun kebiasaan tidur yang sehat adalah tujuan utama pada periode ini karena si kecil sudah mulai bersosialisasi, dan pola tidurnya sudah mengikuti pola orang dewasa.

Kuncinya adalah untuk bersikap sensitif terhadap kebutuhan tidurnya agar bisa beradaptasi dan sinkron terhadap gaya hidup dan jadwal aktivitas Anda. Anda bisa sama saja menyakiti si kecil jika membiarkan waktu tidurnya tidak berpola baik. Kekurangan tidur sama berbahayanya dengan memberikannya makanan tak bernutrisi.

Akan ada kalanya si bayi menangis ketika akan ditaruh kembali ke tempat tidurnya. Kecuali jika si kecil merasa lapar, atau sakit, jangan selalu mengangkatnya dari tempat tidur di malam hari. Memulai rutinitas tidur sejak dini dan konsisten adalah kunci sukses untuknya bisa memiliki pola tidur sehat. Biasanya hanya butuh beberapa hari untuk belajar tertidur sendiri tanpa ditemani. Namun, hal itu tergantung pada Anda untuk menjaga jadwal dan kebiasaan rutinitasnya agar tidak tersesat. Umumnya, di usia ini, bayi akan terbangun pada pagi buta (pukul 05.00-06.00) dan kembali tertidur atau terjaga kembali tak lama kemudian (sekitar pukul 07.00). Ini merupakan bagian dari jam biologisnya.

Usia 9-12 bulan

Di rentang usia ini, bayi Anda tertidur antara 10 dan 12 jam per malamnya, dua kali tidur siang, dan tak butuh lagi diberikan makan pada tengah malam. Dengan berkurangnya waktu tidur siang si kecil, Anda akan melihat tanda-tanda bahwa ia butuh tidur lebih cepat. Hal ini bisa bervariasi, tergantung jadwal tidur siangnya, karena perbedaan 20 menit saja bisa mengakibatkan perubahan sikap yang cukup drastis. Membiarkan si kecil tertidur lebih cepat membantu si kecil untuk tidur lebih lama dan nyenyak. Sementara itu, membiarkannya tertidur larut malam justru bisa membuatnya terjaga di tengah malam dan menimbulkan masalah seputar tidurnya.

Di usia ini, si bayi sudah mulai bersosialisasi dan mengekspresikan dirinya, dan akan mulai tidak kooperatif. Ia akan lebih tertarik untuk bermain dengan Anda dan mengeksplorasi dunia, ketimbang harus masuk ke kamar gelap untuk tidur siang. Padahal, tidur siang amat penting untuknya karena, jika tidak, maka ia akan merasa kelelahan pada malam hari. Masalah tidur pada malam hari yang terakumulasi akan menciptakan siklus yang tak baik dan menjurus pada kesulitan terhadap emosional dan sikap.

Memberikan kesempatan untuk si kecil merasa tenang dan mencoba tertidur tanpa ditemani amat penting untuk membangun kebiasaan tidur yang baik, tidur yang nyenyak, dan mencegah masalah tidur di masa depan. Dalam bukunya yang berjudul Healthy Sleep Habits, Happy Child, Mark Weissbluth, MD, mengatakan bahwa masalah tidur yang dihadapi bayi usia 4-12 bulan terbentuk karena kesalahan orangtua yang tak bisa menghentikan kebiasaan tidur yang buruk.

Anak Susah Makan? Jangan-jangan Trauma

SEORANG ibu muda, Dini, bingung. Putri bungsunya yang berusia 6 tahun berat badannya tidak pernah melewati angka 11 kilogram. Untuk anak seumur putrinya, ia melihat anaknya terlihat kurus dibanding teman-teman seusianya.

"Padahal, waktu lahir beratnya 3,3 kg, tergolong berat. Pas besar, kok badannya kecil dan pertumbuhan berat badannya segitu-gitu aja. Memang sih, dia susah makan dan pernah menjalani operasi usus. Saya coba berbagai cara untuk konsultasi dengan dokter, agar dia nggak susah makan, tapi belum ada hasilnya. Apa yang harus saya lakukan?" demikian curhat Dini, pada sebuah seminar tentang anak, di Jakarta, Sabtu (7/6).

Menanggapi pertanyaan dini, dokter anak yang hadir pada seminar tersebut, dr. Attila Dewanti Sp.A menyarankan agar dini melacak riwayat yang dimiliki anaknya. Attila mengatakan, salah satu faktor yang bisa menyebabkan anak susah makan, salah satunya adalah trauma.

Trauma seperti apa yang dimaksud? "Misalnya begini. Ada orang tua yang ingin asupan gizi anaknya baik, kemudian dikasih makan campuran ati, ikan, otak sapi, segala macam dicampur, karena yakin ini makanan paling sehat buat anak. Dan lupa untuk mencicipi, enak apa nggak ya rasanya? Ketika dirasakan anak makanan itu tidak enak dia (si anak) menjadi trauma dengan makanan. Jadi, sebaiknya sebelum memberikan makanan pada enak dicicipi dulu, enak atau tidak, jangan main kasih saja," jawab Attila.

Trauma lainnya, bisa juga disebabkan pada cara memberikan makan. Attila menjelaskan, ibu ataupun pengasuh anak terkadang tidak cukup memiliki kesabaran dalam memberikan makan pada anaknya. Akibatnya, seringkali anak dipaksa untuk membuka mulutnya dan menerima makanan yang disuapkan kepadanya.

"Mungkin saja, tanpa sepengetahuan ibu, pengasuh anak yang memberikan makan sedikit memaksa. Sehingga, ketika saat makan tiba si anak justru trauma karena pemaksaan itu. Kadang-kadang kita kan suka gemes ya, ih ni anak makan aja susah, terus dipaksa itu sendok masuk ke mulutnya. Jangan sampai seperti itu. Ciptakanlah suasana makan yang menyenangkan. Si anak jadinya senang saat waktu makan tiba. Atau bisa juga konsultasi ke psikolog, apa yang menyebabkan anak malas makan. Intinya, jangan dipaksa," kata Attila.

Saran dari Attila lainnya, perhatikan pola makan anak sejak bayi. Mulai usia 4-6 bulan, anak harus dikenalkan cara makan. Usia 6 bulan, diajarkan cara mengunyah dengan baik. "Jadi, makan itu ada tahapannya, lunak dulu, kemudian dua bulan berikutnya makan makanan yang padat tapi agak cair kemudian baru makan nasi. Sabar dengan tahapan-tahapan itu, jangan maunya cepet aja," ujar dia.

http://www.kompas.com

Pendidikan Anak Usia Dini

Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya.
Hanya saja, dalam praktik pendidikan sehari-hari, tidak selalu demikian yang terjadi.
Banyak contoh yang menunjukkan betapa para orang tua dan masyarakat pada umummnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangananya.

Di dalam keluarga orang tua sering memaksakan keinginannya sesuai kehendaknya, di sekolah guru sering memberikan tekanan (preasure) tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak, di berbagai media cetak/elektronika tekanan ini lebih tidak terbatas lagi, bahkan cenderung ekstrim.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.

Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini

  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)
Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya.

Kecerdasan anak nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut ini:
  • Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
  • Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
  • Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
  • Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
  • Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Dari berbagai sumber